Rabu, 18 Mei 2016

Tanda ?

Pemanis apa yang bisa menawarkan rasa pait yang terkecap dalam hati? tutorial youtube mana yang bisa aku simak sebagai pati rasa yang aku ikuti step by step agar aku tidak lagi menjadi kacau seperti ini. bila hukum tak melarang orang mengirup opium akankah aku bisa menghirupnya agar aku bisa bernafas, dan tiba saatnya aku menghembuskannya aku dapat melayang tanpa merasakan sakit lagi?
Ibu, mengapa kau hanya mendongengkan kisah-kisah klasik seorang putri yang berakhir happy ending? mengapa kau hanya menceritakan cerita yang berakhir dengan kata "happy ever after" menjelang tidurku? selama ini aku hanya bermimpi menjadi seorang putri yang berharap cerita itu akan menjadi kisah hidup ku juga bu? sehingga aku tidak siap untuk menerima hidup nyata ku yang seperti ini. Dimana letak ibu peri dalam dongeng Cinderela bu? atau dimana aku seharusnya tidur agar dibangunkan pangeran seperti yang dialami Aurora?
Sepertinya kisah pahit ini terlalu lama tidak seperti kisah Bawang Putih yang menghadapi ibu tiri dan Bawang Merah bu, aku ingat betul penderitaan itu tidak sampai 30 menit. apa dulu kau terlampau malas untuk menceritakan detailnya?
Maaf bu, aku bukannya menyalahkan mu atas dongeng yang kau ceritakan, harusnya kau lebih menceritakan ku kehidupan nyata, agar aku lebih siap menghadapinnya, bu.

Selasa, 17 Mei 2016

Mendalami 3 Buku Semiotika Danesi, Roland Barthes, Alex Sobur

·        Pesan, Tanda, dan Makna
Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis unuk mengkaji tanda, tanda yang dimaksudkan merupakan perangkat yang biasa digunakan oleh masyarakat dalam upaya mempelajari kehidupan (Sobur, 2013).
Di dalam bukunya yang berjudul Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication (Studies in Linguistic and Cultural Anthropology) 3rd Ed, Danesi memberikan gambaran mengenai definisi semiotika sebagai ilmu yang mencoba menjawab pertanyaan yang dimaksud dengan “X” yang dapat berupa apapun, mulai dari sebuah kata atau isyarat hingga keseluruhan komposisi musik atau film, yang memiliki jangkauan yang bias bervariasi, tetapi sifat dasar yang merumuskanya tidak (Danesi, 2004).

Dalam buku yang sama, Danesi juga menyebutkan bahwa simbol merupakan tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan bersama dengan konteks yang spesifik. Dengan kata lain, semiotik mencoba untuk melakukan sebuah penarikan kesimpulan akan tetapi bersifat interpretatif yaitu tidak akan selalu sama atas apa yang diartikan dengan apa yang akan di bahas secara lain, karena dalam semiotik terdapat makna yang denotatif dan juga terdapat makna yang konotatif.

Rolland Barthes (dalam buku karya Sobur, 2013) menjelaskan bahwa tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang menelaah tanda secara bahasa sehingga menjadi landasan keberadaannya.

Suatu tanda akan menandakan sesuatu diluar dirinya sendiri yang akan menghasilkan hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda yang akan menghailkan makna atau meaning (Danesi, 2004). Dengan tanda, manusia akan berusaha untuk menguraikan aturan-aturan yang ada disekitarnya.

Memahami Semiotika tentu tidak bisa melepaskan pengaruh dan peran dua orangpenting ini: Charles Sander Pierce dan Ferdinand De Saussure. Keduanya meletakkan dasar-dasar bagi kajian semiotika. Pierce dikenal sebagai pemikir argumentatif dan filsuf Amerika yang paling original dan multidimensional.

Danesi (2004) menjelaskan bahwa Ferdinand de Saussure dan Charles S. Peirce adalah pendiri teori semiotik kontemporer dan praktek. Keduanya membuat kerangka dasar untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan tanda-tanda, serta untuk menerapkan semiotika untuk mempelajari sistem pengetahuan dan budaya. Semenjak mahasiswa, pada tahun 1879 Saussure menerbitkan bukunya, yang berjudul Mkmoire sur le systkine primitifdes Voyelles dans les langues Indo europkennes atau yag diartikan memori tentang sistem vokal asli dalam bahasa Indo-Eropa, karya penting pada sistem vokal Proto-Indo-Eropa, yang dianggap sebagai bahasa induk dari petikan bahasa Indo-Eropa turun. Saussure mengajar di Ecole des Hautes Etudes di Paris dari 188 1-189 1 dan kemudian menjadi profesor bahasa Sansekerta dan Perbandingan Grammar di University of Geneva. Meskipun ia tidak pernah menulis buku lain, mengajar terbukti sangat berpengaruh. Saussure menggambarkan tanda sebagai struktur biner, yaitu sebagai struktur terdiri dari dua bagian:

(1) bagian fisik, yang disebutnya penanda

 (2) bagian konseptual, yang disebut signified.

Sedangkan Peirce menbagi tanda menjadi tiga istilah yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang berdiri untuk rujukan melalui beberapa bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau kemiripan. Suara simbolisme adalah contoh ikonisitas dalam bahasa. Indeks adalah tanda yang berdiri untuk rujukan dengan menunjuk ke sana atau dengan menghubungkannya (secara eksplisit atau implisit) untuk referen lain. Manifestasi dari indexicality termasuk jari telunjuk menunjuk, kata keterangan seperti di sana-sini, dan diagram yang dikenal sebagai peta. Simbol adalah tanda bahwa singkatan objeknya oleh konvensi atau kesepakatan dalam konteks tertentu. Misalnya, mawar adalah simbol cinta dalam beberapa kebudayaan; huruf d berdiri, dengan kesepakatan antara matematika dunia, untuk jumlah 3,14; dan seterusnya. Ikonisitas merupakan upaya untuk mensimulasikan sifat sensori yang dirasakan dalam hal. Indexicality merupakan strategi untuk mengacu pada keberadaan dan lokasi objek dalam ruang-waktu. Dan simbolisme adalah hasil dari konvensi, perjanjian, atau pakta historical dan sosial (Danesi, 2004).

·       Mhytologies

Roland Barthes merupakan tokoh pemikir srukturalis yang berpendapat bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Barthes, 1991). Dalam buku berjudul Mhytologies Barthes mengangkat bab-bab yang dapat dibilang sebagai hal yang remeh yaitu bab berisi tentang hasil perenungannya mengenai penari perut, Citroen tipe terbaru, busa ditergen,wajah Greta Grabo, mainan, Wine dan susu, dan hal remeh lainnya.

Dalam buku ini Barthes menjelaskan secara panjang lebar dan mengulas apa yang sering disebut dengan sistem pemaknaan tataran ke- dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya atau disebutnya dengan istilah konotasi di dalam bukunya Barthes, secara tegas membedakan dengan sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2013).

 Konsep  ini hampir mirip dengan kosep yang dicetuskan oleh Saussure akan tetapi Barthes menyempurnakan dengan tidak hanya berhenti pada tataran denotasi. Barthes berusaha menolak sesuatu yang bersifat ilmiah dari denotasi. Baginya konotasi identik dengan ideologi yang disebutnya sebagai mitos (Sobur, 2013). Mitos disiniberfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan kebenaran bagi nilai-nilai yang dominan dalam suatu periode tertentu ( Budiman, 2001).

(Roland Barthes)

Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimesi yaitu penanda, pertanda, dan tanda oleh karena itu mitos termasuk dalam sistem pemaknaan tataran ke- dua (Barthes, 1991). Alasan Barthes memunculkan mitos karena seperti halnya Marx, Ia juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, walaupun secara realistas tidak demikian. Di akhir bab pada bukunya Barthes memperjelas alasannya untuk menyematkan mitos ke dalam pemikirannya mengenai tanda yaitu tentang kesadaran palsu yang diberikan kaum borjuis kepada kaum minoritas.
·       Semiotika Komunikasi
Dalam kajian komunikasi, semiotika merupakan ilmu penting, sebab tanda-tanda (signs) merupakan basis utama dari seluruh komunikasi, karena dengan tanda-tanda manusia dapat melakukan komunikasi apapun dengan sesamanya (Sobur, 2013, h.15)
 “Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisisuntuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah peringkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanyamembawa informasi tetapi dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda” (Sobur, 2013, h.15)
     Dalam bukunya, Alex Sobur mengangkat perbincangan mengenai semiotika sebagai ilmu. Menurutnya, ada semacam ruang kontradiksi yang dibangun oleh dua kubu semiotika kontinental yang dicetuskan oleh tokoh Ferdinand de Saussure dan semiotika Amerika yang dibawa oleh Charles Sander Peirce. Sobur berusaha membandingkan semiotika yang ditulis sebagai hasil dari pembacaan ulang oleh tokoh-tokoh ahli semiotika terhadap dua kubu tersebut.
Umberto Eco (dalam Sobur 2013) menegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta. Eco mengatakan bahwa pada prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin ilmu yang digunakan untuk berdusta.
Dalam perkembangannya, kajian semiotika berkembang kepada dua klasifikasi utama, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi (pengirim, penerima, pesan, saluran dan acuan). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu (Sobur, 2013, h. 15). Di sinilah munculnya berbagai cabang kajian semiotika seperti semiotika binatang (zoomsemiotics), semiotika medis (medicals semiotics) dan lain-lain, yang mana menurut Eco (1979) mencapai 19 bidang kajian ( Sobur, 2013, h.109).
Berikut ini adalah gambaran singkat penerapan analisis semiotika dalam berbagai bidang dan objek kajiannya dalam disiplin ilmu komunikasi, yang meliputi pemberitaan media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik-kartun, sastra, dan musik (Sobur, 2013, h. 106).
1.      Media
Pada dasarnya, studi media masa mencakup pencarian pesan dan makna dalam materi (isiteks), karena sesungguhnya semiotika komunikasi –seperti halnya basis studi komunikasi-, adalah proses komunikasi yang intinya adalah mencari makna. Dengan kata lain, kita mempelajari media adalah untuk mempelajari makna - dari mana asalnya, seperti apa, apa tujuannya, bagaimana disampaikan, dan bagaimana kita (pembaca) memberikan (menafsirkan) maknanya (Sobur, 2013, h. 110).
Dalam media cetak, kajian semiotika juga kebanyakan mengusut ideologi yang melatar-belakangi pemberitaan media.
Pertanyaan utama ketika akan mengaplikasi pendekatan semiotika komunikasi dalam mengkaji media adalah bagaimana isi media harus dijelaskan? Atau, ketika media memberitakan suatu peristiwa dengan orientasi tertentu, bagaimana kita menjelaskannya? Disinilah McNeir (1994 dalam Sobur 2013) memberikan beberapa pendekatan utama, yakni:
1.      Pendekatan politik-ekonomi (the political-economiy approach),
2.      pendekatan organisasi (organizational approach) dan pendekatan budaya (culturalist approach).
3.      Pendekatan politik-ekonomi berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media (faktor eksternal). Kekuatan tersebut antaranya adalah pemilik media, pemodal, dan pendapatan media. Faktor inilah yang dipercayai lebih menentukan mengenai berita/peritiwa apa yang bisa dan tidak bisa ditampilkan/diberitakan dalam media.
4.      Pendekatan organisasi berpendapat kebalikan dari politik ekonomi di atas. Pendekatan ini berpandangan bahwa organisasi pengelola medialah yang menentukan proses pembentukan dan produksi berita melalui praktek kerja, professionalisme, tata aturan organisasi dan mekanisme yang ada di ruang redaksi (paktor internal). Ideologi media merupakan bagian dari paktor ini, dimana ia akan tercermin dalam keseluruhan nilai yang dijadikan landasan kerja organisasi pengelola media. Ideologi media itu pulalah pada akhirnya akan menjadi acuan dan nilai dasar bagi semua pengelola (organisasi media) dalam menentukan (memilih) berita mana yang layak dan tidak layak diterbitkan, dalam bentuk apa dan cara yang bagaimana sebuah berita harus dipublikasikan, dst. Di sinilah media lebih banyak tampil sebagai “perumus realitas” (definer of reality) sebagaimana ideologi yang melandasinya, ketimbang menjadi “cermin realitas” (mirror of reality) (Sobur, 2013)

5.      Pendekatan budaya berpendapat bahwa pemberitaan media ditentukan oleh kedua-dua faktor di atas (eksternal dan internal) secara bersamaan. Media pada dasarnya mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi dengan berbagai pola tersebut dalam memaknai peristiwa tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di luar media.
Melalui tanda (sign), analisis semiotika pada media juga melihat bagaimana huhungan pemilik media dengan konstruk sosial (realitas) yang dibangun memalui pemberitaan media. Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Akan tetapi pada prakteknya, seringkali apa yang disebut sebagai kebenaran itu ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan survival media itu sendiri, baik dalam pengertian bisnis maupun politis.
2. Komunikasi Periklanan
Untuk mengkaji iklan dalam perpektif semiotika, iklan dapat dikaji melalui sistem tanda iklan yang terdiri atas lambang baik secara verbal maupun non verbal (Sobur, 2013). Lambang verbal merupakan gaya bahasanya sedangkan lambang nonverbal adalah warna yang disajikan pada iklan.

3. Musik
Apa yang dapat kita kaji pada musik yang menganut sistem tanda auditif.  Zoest (1993, dalam Sobur, 2013) memberikan tiga kemungkinan cara dalam melalukan analisis semiotika pada musik.
1.    Pertama, untuk menganggap unsur-unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala neurofisiologis pendengar. Dengan demikian, irama musik dapat dihubungkan dengan ritme biologis.
2.     Kedua, untuk menganggap gejala-gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.
3.    Ketiga, untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksikal.
Bagi Zoest, sifat indeksikal tanda musik ini merupakan kemungkinan yang paling penting, sebab simbolitas juga wujud dalam musik, baik menyangkut jenis, historisitas, maupun gaya senantiasa menjadi bagian yang kompleks yang diekspresikan dalam musik. Melalui tanda (sintak, semantic dan ekspressif), kita bukan hanya dapat mengenali pesan/makna yang disampaikan dalam musik, akan tetapi juga dapat mengenali perasaan seseorang (kebahagian, kesedihan, dan sebagainya) melalui musik.  Sebagai satu proses simbolik, Marriam (dalam Sobur 2013) menekankan pentingnya studi tentang fungsi musik dalam masyarakat. Menurutnya, simbolisme musik dan fungsinya dapat dikaji melalui aspek instrumentation, word of songs, native typology and classification of music, role and status of musicians, function of music in relation to other aspect of culture and music as creative activity (Bandem, 1981 dalam Sobur, 2013, h. 147). Selain beberapa hal di atas Sobur juga menjelaskan aplikasi semiotika dalam bidang satra dan komik.
Sobur (2013) berpendapat bahwa setiap teks yang dihasilkan media ada berbagai kepentingan ideologiantara masyarakat dan negara. Dalam diri media massa juga ada kepentingan kepentingan yang terselubung seperti kepentingan pemilik modal kepentingan keberlangsungan lapangan kerja bagi para wartawan, karyawan dan sebagainya.

Daftar Pustaka

Barthes, R. (1972). Membedah mitos-mitos budaya massa. Jakarta: Jalasutra
Danesi, M., & Danesi, M. (2004). Messages, signs, and meanings: A basic textbook in semiotics and communication. Toronto: Canadian Scholars' Press.

Sobur, A. (2013). Semiotika komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.