·
Pesan,
Tanda, dan Makna
Semiotika merupakan suatu ilmu atau
metode analisis unuk mengkaji tanda, tanda yang dimaksudkan merupakan perangkat
yang biasa digunakan oleh masyarakat dalam upaya mempelajari kehidupan (Sobur,
2013).
Di dalam bukunya yang berjudul 3rd Ed,
Danesi memberikan gambaran mengenai definisi semiotika sebagai ilmu yang
mencoba menjawab pertanyaan yang dimaksud dengan “X” yang dapat berupa apapun,
mulai dari sebuah kata atau isyarat hingga keseluruhan komposisi musik atau
film, yang memiliki jangkauan yang bias bervariasi, tetapi sifat dasar yang merumuskanya
tidak (Danesi, 2004).
Dalam buku yang sama, Danesi juga menyebutkan bahwa simbol merupakan
tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan bersama
dengan konteks yang spesifik. Dengan kata lain, semiotik mencoba untuk
melakukan sebuah penarikan kesimpulan akan tetapi bersifat interpretatif yaitu tidak
akan selalu sama atas apa yang diartikan dengan apa yang akan di bahas secara
lain, karena dalam semiotik terdapat makna yang denotatif dan juga terdapat
makna yang konotatif.
Rolland Barthes (dalam buku karya Sobur, 2013) menjelaskan bahwa tanda
konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua
bagian tanda denotatif yang menelaah tanda secara bahasa sehingga menjadi
landasan keberadaannya.
Suatu tanda akan menandakan sesuatu diluar dirinya sendiri yang akan
menghasilkan hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda yang akan
menghailkan makna atau meaning (Danesi,
2004). Dengan tanda, manusia akan berusaha untuk menguraikan aturan-aturan yang
ada disekitarnya.
Memahami Semiotika
tentu tidak bisa melepaskan pengaruh dan peran dua orangpenting ini: Charles
Sander Pierce dan Ferdinand De Saussure. Keduanya meletakkan
dasar-dasar bagi kajian semiotika. Pierce dikenal sebagai pemikir
argumentatif dan filsuf Amerika yang paling original dan multidimensional.
Danesi (2004) menjelaskan bahwa Ferdinand de Saussure dan Charles S.
Peirce adalah pendiri teori semiotik kontemporer dan praktek. Keduanya membuat
kerangka dasar untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan tanda-tanda, serta
untuk menerapkan semiotika untuk mempelajari sistem pengetahuan dan budaya.
Semenjak mahasiswa, pada tahun 1879 Saussure menerbitkan bukunya, yang berjudul
Mkmoire sur le systkine primitifdes
Voyelles dans les langues Indo europkennes atau yag diartikan memori
tentang sistem vokal asli dalam bahasa Indo-Eropa, karya penting pada sistem
vokal Proto-Indo-Eropa, yang dianggap sebagai bahasa induk dari petikan bahasa
Indo-Eropa turun. Saussure mengajar di Ecole des Hautes Etudes di Paris dari
188 1-189 1 dan kemudian menjadi profesor bahasa Sansekerta dan Perbandingan
Grammar di University of Geneva. Meskipun ia tidak pernah menulis buku lain,
mengajar terbukti sangat berpengaruh. Saussure menggambarkan tanda sebagai
struktur biner, yaitu sebagai struktur terdiri dari dua bagian:
(1) bagian fisik, yang disebutnya penanda
(2) bagian konseptual, yang
disebut signified.
Sedangkan Peirce menbagi tanda menjadi tiga istilah yaitu ikon, indeks,
dan simbol. Ikon adalah tanda yang berdiri untuk rujukan melalui beberapa
bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau kemiripan. Suara simbolisme adalah
contoh ikonisitas dalam bahasa. Indeks adalah tanda yang berdiri untuk rujukan
dengan menunjuk ke sana atau dengan menghubungkannya (secara eksplisit atau
implisit) untuk referen lain. Manifestasi dari indexicality termasuk jari
telunjuk menunjuk, kata keterangan seperti di sana-sini, dan diagram yang
dikenal sebagai peta. Simbol adalah tanda bahwa singkatan objeknya oleh
konvensi atau kesepakatan dalam konteks tertentu. Misalnya, mawar adalah simbol
cinta dalam beberapa kebudayaan; huruf d berdiri, dengan kesepakatan antara
matematika dunia, untuk jumlah 3,14; dan seterusnya. Ikonisitas merupakan upaya
untuk mensimulasikan sifat sensori yang dirasakan dalam hal. Indexicality
merupakan strategi untuk mengacu pada keberadaan dan lokasi objek dalam
ruang-waktu. Dan simbolisme adalah hasil dari konvensi, perjanjian, atau pakta
historical dan sosial (Danesi, 2004).
·
Mhytologies
Roland Barthes merupakan tokoh pemikir srukturalis yang berpendapat bahwa
bahasa merupakan sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Barthes, 1991). Dalam buku berjudul
Mhytologies Barthes mengangkat bab-bab yang dapat dibilang sebagai hal yang
remeh yaitu bab berisi tentang hasil perenungannya mengenai penari perut,
Citroen tipe terbaru, busa ditergen,wajah Greta Grabo, mainan, Wine dan susu,
dan hal remeh lainnya.
Dalam buku ini Barthes menjelaskan secara panjang lebar dan mengulas apa
yang sering disebut dengan sistem pemaknaan tataran ke- dua, yang dibangun di
atas sistem lain yang telah ada sebelumnya atau disebutnya dengan istilah
konotasi di dalam bukunya Barthes, secara tegas membedakan dengan sistem
pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2013).
Konsep ini hampir mirip dengan kosep yang dicetuskan
oleh Saussure akan tetapi Barthes menyempurnakan dengan tidak hanya berhenti
pada tataran denotasi. Barthes berusaha menolak sesuatu yang bersifat ilmiah
dari denotasi. Baginya konotasi identik dengan ideologi yang disebutnya sebagai
mitos (Sobur, 2013). Mitos disiniberfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
kebenaran bagi nilai-nilai yang dominan dalam suatu periode tertentu ( Budiman,
2001).

(Roland Barthes)
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga
dimesi yaitu penanda, pertanda, dan tanda oleh karena itu mitos termasuk dalam
sistem pemaknaan tataran ke- dua (Barthes, 1991). Alasan Barthes memunculkan
mitos karena seperti halnya Marx, Ia juga memahami ideologi sebagai kesadaran
palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, walaupun
secara realistas tidak demikian. Di akhir bab pada bukunya Barthes memperjelas
alasannya untuk menyematkan mitos ke dalam pemikirannya mengenai tanda yaitu
tentang kesadaran palsu yang diberikan kaum borjuis kepada kaum minoritas.
· Semiotika
Komunikasi
Dalam kajian komunikasi, semiotika
merupakan ilmu penting, sebab tanda-tanda (signs) merupakan basis utama
dari seluruh komunikasi, karena dengan tanda-tanda manusia dapat melakukan
komunikasi apapun dengan sesamanya (Sobur, 2013, h.15)
“Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisisuntuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah peringkat yang kita pakai dalam upaya
mencari jalan di dunia ini. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak
hanyamembawa informasi tetapi dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda” (Sobur,
2013, h.15)
Dalam bukunya, Alex Sobur mengangkat
perbincangan mengenai semiotika sebagai ilmu. Menurutnya, ada semacam ruang
kontradiksi yang dibangun oleh dua kubu semiotika kontinental yang dicetuskan
oleh tokoh Ferdinand de Saussure dan semiotika Amerika yang dibawa oleh Charles
Sander Peirce. Sobur berusaha membandingkan semiotika yang ditulis sebagai
hasil dari pembacaan ulang oleh tokoh-tokoh ahli semiotika terhadap dua kubu tersebut.
Umberto
Eco (dalam Sobur 2013) menegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta. Eco
mengatakan bahwa pada prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin ilmu yang
digunakan untuk berdusta.
Dalam perkembangannya, kajian
semiotika berkembang kepada dua klasifikasi utama, yakni semiotika komunikasi
dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang
produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor
dalam komunikasi (pengirim, penerima, pesan, saluran dan acuan). Sedangkan
semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya
dalam suatu konteks tertentu (Sobur, 2013, h. 15). Di sinilah munculnya
berbagai cabang kajian semiotika seperti semiotika binatang (zoomsemiotics),
semiotika medis (medicals semiotics) dan lain-lain, yang mana menurut
Eco (1979) mencapai 19 bidang kajian ( Sobur, 2013, h.109).
Berikut ini adalah gambaran singkat
penerapan analisis semiotika dalam berbagai bidang dan objek kajiannya dalam
disiplin ilmu komunikasi, yang meliputi pemberitaan media massa, komunikasi
periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik-kartun, sastra, dan musik
(Sobur, 2013, h. 106).
1.
Media
Pada dasarnya, studi media masa
mencakup pencarian pesan dan makna dalam materi (isiteks), karena
sesungguhnya semiotika komunikasi –seperti halnya basis studi komunikasi-,
adalah proses komunikasi yang intinya adalah mencari makna. Dengan kata lain,
kita mempelajari media adalah untuk mempelajari makna - dari mana asalnya,
seperti apa, apa tujuannya, bagaimana disampaikan, dan bagaimana kita (pembaca)
memberikan (menafsirkan) maknanya (Sobur, 2013, h. 110).
Dalam media cetak, kajian semiotika
juga kebanyakan mengusut ideologi yang melatar-belakangi pemberitaan media.
Pertanyaan utama ketika akan
mengaplikasi pendekatan semiotika komunikasi dalam mengkaji media adalah
bagaimana isi media harus dijelaskan? Atau, ketika media memberitakan suatu
peristiwa dengan orientasi tertentu, bagaimana kita menjelaskannya? Disinilah
McNeir (1994 dalam Sobur 2013) memberikan beberapa pendekatan utama, yakni:
1.
Pendekatan politik-ekonomi (the political-economiy
approach),
2.
pendekatan organisasi (organizational approach)
dan pendekatan budaya (culturalist approach).
3.
Pendekatan politik-ekonomi berpendapat
bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di
luar pengelolaan media (faktor eksternal). Kekuatan tersebut
antaranya adalah pemilik media, pemodal, dan pendapatan media. Faktor inilah
yang dipercayai lebih menentukan mengenai berita/peritiwa apa yang bisa dan
tidak bisa ditampilkan/diberitakan dalam media.
4.
Pendekatan organisasi berpendapat
kebalikan dari politik ekonomi di atas. Pendekatan ini berpandangan bahwa
organisasi pengelola medialah yang menentukan proses pembentukan dan produksi
berita melalui praktek kerja, professionalisme, tata aturan organisasi dan
mekanisme yang ada di ruang redaksi (paktor internal). Ideologi
media merupakan bagian dari paktor ini, dimana ia akan tercermin dalam
keseluruhan nilai yang dijadikan landasan kerja organisasi pengelola media.
Ideologi media itu pulalah pada akhirnya akan menjadi acuan dan nilai dasar
bagi semua pengelola (organisasi media) dalam menentukan (memilih) berita mana
yang layak dan tidak layak diterbitkan, dalam bentuk apa dan cara yang
bagaimana sebuah berita harus dipublikasikan, dst. Di sinilah media lebih
banyak tampil sebagai “perumus realitas” (definer of reality)
sebagaimana ideologi yang melandasinya, ketimbang menjadi “cermin realitas” (mirror
of reality) (Sobur, 2013)
5.
Pendekatan budaya berpendapat bahwa
pemberitaan media ditentukan oleh kedua-dua faktor di atas (eksternal dan internal)
secara bersamaan. Media pada dasarnya mempunyai mekanisme untuk menentukan pola
dan aturan organisasi, tetapi dengan berbagai pola tersebut dalam memaknai
peristiwa tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di luar
media.
Melalui tanda (sign), analisis
semiotika pada media juga melihat bagaimana huhungan pemilik media dengan
konstruk sosial (realitas) yang dibangun memalui pemberitaan media. Secara
teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara
efektif dan efisien. Akan tetapi pada prakteknya, seringkali apa yang disebut
sebagai kebenaran itu ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan survival media
itu sendiri, baik dalam pengertian bisnis maupun politis.
2.
Komunikasi Periklanan
Untuk mengkaji iklan dalam perpektif
semiotika, iklan dapat dikaji melalui sistem tanda iklan yang terdiri atas
lambang baik secara verbal maupun non verbal (Sobur, 2013). Lambang verbal
merupakan gaya bahasanya sedangkan lambang nonverbal adalah warna yang
disajikan pada iklan.
3. Musik
Apa yang dapat kita kaji pada musik
yang menganut sistem tanda auditif. Zoest (1993, dalam Sobur, 2013) memberikan
tiga kemungkinan cara dalam melalukan analisis semiotika pada musik.
1. Pertama, untuk
menganggap unsur-unsur struktur musik sebagai ikonis bagi
gejala-gejala neurofisiologis pendengar. Dengan demikian,
irama musik dapat dihubungkan dengan ritme biologis.
2. Kedua,
untuk menganggap gejala-gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi
gejala-gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.
3. Ketiga, untuk
mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan
yang dimunculkan musik lewat indeksikal.
Bagi Zoest,
sifat indeksikal tanda musik ini merupakan kemungkinan yang paling penting,
sebab simbolitas juga wujud dalam musik, baik menyangkut jenis, historisitas,
maupun gaya senantiasa menjadi bagian yang kompleks yang diekspresikan dalam
musik. Melalui tanda (sintak, semantic dan ekspressif),
kita bukan hanya dapat mengenali pesan/makna yang disampaikan dalam musik, akan
tetapi juga dapat mengenali perasaan seseorang (kebahagian, kesedihan, dan
sebagainya) melalui musik. Sebagai satu
proses simbolik, Marriam (dalam Sobur 2013) menekankan pentingnya studi tentang
fungsi musik dalam masyarakat. Menurutnya, simbolisme musik dan fungsinya dapat
dikaji melalui aspek instrumentation, word of songs, native typology and
classification of music, role and status of musicians, function of music in
relation to other aspect of culture and music as creative activity (Bandem,
1981 dalam Sobur, 2013, h. 147). Selain beberapa hal di atas Sobur juga
menjelaskan aplikasi semiotika dalam bidang satra dan komik.
Sobur
(2013) berpendapat bahwa setiap teks yang dihasilkan media ada berbagai
kepentingan ideologiantara masyarakat dan negara. Dalam diri media massa juga
ada kepentingan kepentingan yang terselubung seperti kepentingan pemilik modal kepentingan keberlangsungan lapangan
kerja bagi para wartawan, karyawan dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Barthes, R. (1972). Membedah mitos-mitos budaya massa.
Jakarta: Jalasutra
Danesi,
M., & Danesi, M. (2004). Messages,
signs, and meanings: A basic textbook in semiotics and communication.
Toronto: Canadian Scholars' Press.
Sobur, A. (2013). Semiotika komunikasi. Bandung : Remaja
Rosdakarya.